Jumat, 08 Mei 2009

TAYANGAN REALITY SHOW TERMEHEK-MEHEK DIKAJI DENGAN TEORI AGENDA SETTING DAN TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL

Reality show saat ini sedang menjamur. Tapi di antara semua tayangan reality show, Termehek-mehek adalah salah satu program yang dianggap paling disukai oleh pemirsa. Jam tayangnya yang prime time yaitu 18.15-19.00 WIB hingga back song-nya yang menarik, membuat acara ini makin diminati.

Pertama kali nonton Termehek-mehek, pastinya terseret arus cerita yang seringkali mengaduk-aduk perasaan di tengah-tengah acara pencarian orang yang dikasihi. Kita diajak untuk ikut menanti ending cerita, happy or sad ending?. Jadi berat rasanya mata untuk dialihkan ke hal lain selain menonton monitor TV sampai acara selesai.

Mayoritas dari kita yakin dan percaya bahwa acara tersebut adalah nyata dan benar terjadi. Dan masih banyak jutaan pemirsa TV lainnya juga yang ikut menangis dan bahagia sesuai dengan jalan cerita Termehek-mehek. padahal acara Termehek-mehek dan mayoritas reality show lainnya itu adalah rekayasa, bukan murni nyata kejadiannya.

LATAR BELAKANG

Dalam bahasa Jawa, ada istilah ‘nggak mehek’ yang artinya kurang lebih meremehkan atau menganggap kecil sesuatu. Namun Termehek-mehek yang sekarang lagi booming, mempunyai arti menangis tersedu-sedu. Acara ini muncul sekitar Mei 2008 dan langsung menarik perhatian mayoritas pemirsa TV. Ide acara adalah membantu mencari seseorang yang lama hilang. Jalinan ceritanya begitu mempesona karena dibuat seakan-akan nyata dan terjadi dengan sebenarnya.

Helmi Yahya sebagai yang punya ide cerita mengakui bahwa ia memanfaatkan karakter orang Indonesia yang suka diberi mimpi.

Para pemeran di tiap episode sengaja diambil dari masyarakat umum terutama mahasiswa agar terkesan alami karena wajahnya belum pernah muncul di TV sebelumnya. Ada satu kasus ketika seorang mahasiswa langsung ditelepon oleh banyak teman-temannya setelah shooting reality show.

mahasiswa langsung menjelaskan pada teman-temannya itu bahwa cerita yang diangkat bukanlah kisah pribadinya, tapi rekayasa berdasarkan skenario belaka. Malulah kalau sampai beneran kisah pribadinya jadi konsumsi banyak orang se-Indonesia, begitu katanya.

Sebagian dari audien bisa jadi nggak terima dengan kenyataan ini. Bukankah jelas-jelas sang target pernah mengusir kameramen acara termasuk host-nya yaitu Panda dan Mandala?, terus rekayasa dengan cara acara usir-usiran segala? Bahkan Panda dalam acara tersebut nangis juga bila kebetulan ending cerita mengharukan atau sedih. Mungkin audiens akan berpikir naif seperti itu.

Memang audiens tidak salah. Namanya juga akting, pastilah harus meyakinkan. Bahkan Panda dan Mandala dibayar bukan cuma untuk menjadi host, tapi plus acting juga. Bagi mereka yang bekerja di dunia pertelevisian, sedari awal langsung mengerti bahwa acara-acara reality show seperti ini penuh dengan rekayasa.

Namanya juga show atau pertunjukkan yang sudah jelas ada unsur menghiburnya , Hal ini tidak bisa dihindari karena tuntutan deadline. Ketika tidak ada satu kisah nyata yang bisa diangkat ke layar TV, maka solusinya adalah bikin skenario dan membayar pemain amatiran agar terkesan alami. Nah, awalnya saya pikir sebagian, tapi ternyata most of them alias hampir semua episode adalah rekayasa!

Cara gampang untuk mengenali bahwa ini adalah rekayasa yaitu perhatikan saja kualitas suara yang jernih ketika terjadi percakapan antara host, client dan target. Kalau memang si target benar-benar tidak tahu sebagaimana ekspresi mukanya yang seringkali berakting bingung ketika didatangi host, maka seharusnya kualitas suara mereka tidak sejernih yang kita dengar di TV. Kejernihan suara itu karena memang adanya chip untuk mikrofon yang biasanya dipasang di baju.

Kalau audiens jeli, ada wajah tokoh pada acara termehek-mehek yang juga sedang bermain sinetron meskipun hanya sebagai tokoh figuran. Lagipula, bila acara ini menyajikan kejadian sebenarnya, apa ada orang yang rela aibnya ditampilkan sedemikian rupa di TV?. Dan jawabnya mungkin sudah mendapat persetujuan dari semua pihak. Namanya juga dramatisasi , pastilah acara ini dihadirkan agar seolah-olah semuanya terlihat real.

KAJIAN TEORI

  1. TEORI AGENDA SETTING

a. Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.

Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang).

b. KESIMPULANNYA

Kondisi ini memang memanfaatkan psikologi orang Indonesia yang cenderung pasif dan konsumtif. Mereka mudah ‘dicekoki’ apa saja terutama yang bertujuan pembodohan secara massal. Hal ini pula yang terjadi pada berbagai macam program TV di Indonesia.

Mungkin awalnya kita tidak paham tentang realitas reality show. maka kita gampang sekali tertipu dan ngefans dengan sebuah program tayangan tertentu. Sampai-sampai kita menunda keperluan lain agar tidak mau ketinggalan acara tersebut. Perhatikan saja Termehek-mehek ini tayang di waktu Maghrib yang singkat serta ditayangkan Sabtu sore dan Minggu sore yang biasanya banyak kegiatan di sekitar rumah karena anak-anak sekolah dan kuliah sudah tidak ada kegiatan.

TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL

a. merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia” itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan.

b. Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak random; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh (Kardi, S., 1997 : 14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.

c. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning). Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Misalnya seorang siswa melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M. 1998a : 4).

d. KESIMPULAN

Apabila audiens sudah terbius oleh acara reality show termehek-mehek, dapat dipastikan secara tidak sadar audiens sudah terpengaruh dan termotivasi acara reality show termehek-mehek. Dikarenakan acara tersebut sudah menjadi referensi memori audiens dalam bertingkah laku. Dan cenderung melakukan suatu perbuatan yang intinya sama dengan yang audiens tonton. Seperti tindakan pembelaan diri yang notabenenya mengarah ke tindakan kekerasan baik fisik dan nonfisik. Atau bahkan meniru sang host-nya yang seolah-olah menjadi penengah dalam suatu masalah, serta dramatisasi kehidupan yang membuat audiens menjadi cengeng dan melankolis apabila menghadapi suatu masalah yang mengandung unsur kesedihan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar