Jumat, 08 Mei 2009

komunikasi politik kajian pilkada “STRATEGI TIM SUKSES EFISIEN & EFEKTIF”

LATAR BELAKANG.

Tidak dipungkiri bahwa Pilkada adalah suatu pristiwa politik, namun proses dan hasil Pilkada dapat pula dicapai melalui analisis mekanisme pasar dan pendekatan makro-mikro ekonomi. Mensukseskan Pilkada (KPUD) dan memenangkan Pilkada (kandidat Gubernur/Bupati/Walikota) membutuhkan analisis untung rugi dan kalkulasi ekonomi yang akurat yakni bagaimana mengurangi resiko-biaya sosio-ekonomi dan sosio-politik. Efisiensi penting dalam berbagai bidang baik dalam pelaksanaan Pilkada (KPU/Desk Pilkada) maupun cara memenangkan Pilkada (kandidat/ koalisi/non koalisi partai pendukung). Tim sukses kandidat Pilkada seharusnya berpikir strategik-efisien bagaimana mengurangi resiko dan meningkatkan keuntungan/manfaat (”to minimize risks and to maximizize profits”). Hal ini diperlukan agar Pilkada dapat dilaksanakan secara efisien bukan sekedar efektif dengan mengurangi beban (”economic burdens”) dibandingkan dengan manfaat politik (”political benefits”). Dua kerugian dan kemubaziran yang timbul pertama pelaksanaan Pilkada tidak dijalankan dengan efisien dan yang kedua biaya ekonomi dan ongkos politik dari kandidat Gubernur/Bupati/ Walikota akan semakin besar.

SURVEY.

Pilkada adalah proses demokrasi yang dapat diukur, dikalkulasi, dan diprediksi dalam proses maupun hasilnya.

Survei merupakan salah satu pendekatan penting dan lazim dilakukan untuk mengukur, mengkalkulasi, dan memprediksi bagaimana proses dan hasil pilkada yang akan berlangsung, terutama menyangkut peluang kandidat. Sudah masanya meraih kemenangan dalam pilkada berdasarkan data empirik, ilmiah, terukur, dan dapat diuji.

Sebagai salah satu aspek penting strategi pemenangan kandidat pilkada, survei bermanfaat untuk melakukan pemetaan kekuatan politik. Dalam hal ini, tim sukses semestinya membuat survei untuk: (1) memetakan posisi kandidat di mata masyarakat; (2) memetakan keinginan pemilih; (3) mendefinisikan mesin politik yang paling efektif digunakan sebagai vote getter; serta ( 4) mengetahui media yang paling efektif untuk kampanye.

Tim sukses harus mengandalkan survey untuk menentukan strategi pemenangan kandidat.

Untuk mengetahui bagaimana peta/sebaran dukungan dan preferensi pemilih terhadap kandidat berdasarkan aspek: wilayah, usia, jenis kelamin, pekerjaan, agama, afiliasi keagamaan dan organisasi sosial, serta tingkat sosial-ekonomi.

Untuk mengetahui bagaimana tingkat popularitas kandidat di masyarakat, baik pada masa pra-kampanye maupun pada masa kampanye menjelang pemilihan.

Melalui survei, tim sukses akan dapat memperkirakan seberapa besar dana yang diperlukan untuk membiayai kampanye.

Melalui survei tim sukses dapat mengemas pencitraan kandidat sesuai dengan ideal yang diharapkan pemilih dan dapat menggunakan media kampanye yang tepat.

Untuk mengidentifikasi isu-isu strategis yang berkembang di masyarakat sebagai bahan kampanye kandidat dan dapat menyusun program kampanye sesuai kehendak pemilih.

Untuk mengetahui besaran peluang atau probabilitas menang kandidat dalam pilkada.

Sarana ”sosialisasi” kandidat kepada masyarakat.

Survey perlu diadakan minimal 3 kali sebelum hari H pilkada dilakukan

Survey pertama, sebaiknya dilakukan secepat mungkin. Sebab kandidat yang tahu situasi lebih cepat memiliki kemungkinan menang lebih besar. Survei pertama ini digunakan untuk mengukur modal dasar yang dimiliki kandidat dan mengukur harapan masa pemilih. Survei pertama dipakai sebagai dasar pencitraan kandidat, dan strategi pemasaran dan pemenangan kandidat.

Survey kedua diadakan 3-2 bulan setelah tim sukses bergerak memasarkan kandidat (berkampanye). Survei ini digunakan untuk mengetahui seberapa efektif strategi kampanye yang telah dilakukan.

Survey ketiga diadakan pada saat pelaksanaan kampanye pilkada. Survei ini digunakan untuk mengetahui seberapa efektif strategi kampanye dan upaya pemenangan yang telah dijalankan. Juga untuk menilai berapa kira-kira perolehan suara kandidat dalam pilkada nanti.

JARGON SINGKATAN NAMA CALON KANDIDAT

orang Indonesia lebih cepat mengenal kata atau merek yang terdiri dari dua suku kata. Mirip dengan strategi pembuatan merek yang menganjurkan menggunakan kata sederhana agar mudah diingat, mudah dibaca dan ditulis.

Lantas bagaimana dengan merek yang menggunakan lebih dari dua suku kata? Tentu saja tetap bisa sukses dipasar dengan menggunakan berbagai strategi. Yang pasti effort dan waktu yang digunakan akan berbeda. Sebagai contoh, YAMAHA yang baru saja sukses menjadi market leader di awal tahun ini setelah melewati masa yang cukup panjang menghadapi dominasi Honda.

Beberapa merek yang panjang menggunakan strategi singkatan agar lebih mudah dikenali dan diingat. Presiden Indonesia Bpk. Susilo Bambang Yudhoyono disingkat SBY, merek Hawlett Packard disingkat HP, Studio 21 disingkat TO, Mc Donald dikenal dengan McD, Kentucky Fried Chicken menjadi KFC, jalan Botolempangan disingkat Botlem, Mal Ratu Indah menjadi MARI, Mal Panakkukang menjadi MP, PT. Telekomunikasi Indonesia dikenal dengan TELKOM, Excelcomindo disingkat XL, Ujungpandang Ekspress menjadi UPEKS dan lain sebagainya.

Tim Sukses Cagub telah memikirkan berbagai strategi untuk menguasai benak calon pemilih. Termasuk strategi pemilihan singkatan bagi nama calon untuk menjadi materi promosi. Konsep memasarkan Cagub adalah personal branding strategy. Karena nama Cagub juga sama dengan merek. Sehingga menjadi penting untuk mempelajari dan meng-implementasi-kan konsep personal branding ini. Perlu diingat bahwa dalam pemasaran, tiada lain bertujuan menciptakan persepsi terhadap merek untuk masuk ke benak pasar (mind share) hingga menguasai hati pemilih (heart share).

Mengapa heart share? Karena para pemilih kita adalah pasar yang rasional dan akan bertindak sesuai dengan hati nuraninya.

INFORMATION AND COMMUNICATION TECHNOLOGI


pembahasan sekelumit tentang “kekuatan” Information and Communication Technology (ICT) terhadap sebuah kekuatan politik, khususnya tentang kampanye. Bisa jadi, hal ini bukan sesuatu yang baru. Pasalnya, pada pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1944 saja, Franklin D Roosevelt telah menggunakan teknologi yang cangih pada jamannya, yakni Radio, sebagai sarana untuk mensukseskan pemilihannya.

Di Indonesia saat ini berbagai inovasi dalam berkampanye sudah dilakukan. Berbagai strategi kampanye yang ada di luar negeri dicoba diterjemahkan dan diimplementasikan di Indonesia. Namun sayangnya, banyak pihak belum menggabungkan dan membangun sejumlah perangkat kampanye menjadi satu kesatuan. Melakukan sinergi antara item dan strategi kampanye modern dan tradisional sehingga terbentuk sistem yang cantik dan cerdas. Yang terjadi saat ini justru “perang” item kampanye konvensional. Seperti kaos, spanduk, baliho, stiker, dan lain-lain. Tidak hanya itu, kekuatan/konflik fisik pun mewarnai dan mencoreng nilai kampanye. Sesuatu yang sangat tidak diharapkan.

Jumlah daftar pemilih bagi kandidat bupati/walikota/gubenur tentu merupakan data yang sangat penting. Dari data inilah nantinya bisa dijadikan informasi. Dan dari informasi yang ada akan dibuat sebuah pemetaan. Yakni peta untuk mengetahui:
- yang menjadi kekuatan/pendukungnya
- yang kontra
- yang abstain
- yang mengambang
- yang ragu
- Dan lain-lain.


Pemanfaatan ICT, seperti SMS, Call Centre, Radio daerah dan Situs merupakan langkah awal untuk bisa menjaring loyalis, mengenalkan sang kandidat sekaligus melakukan pemetaan awal. Untuk SMS, khususnya di daerah yang penetrasi ponselnya sudah relatif tinggi, dengan melakukan “pancingan” berupa Kuis SMS (dengan tema yang mengarah pada sang kandidat, tanpa melakukan black campaign) yang berhadiah menarik, tentu data yang masuk menjadi point tersendiri bagi sang kandidat. Data inilah yang harus diolah menjadi informasi yang bisa merebut hati dan pikiran calon pemilih. Ini pula peluang/kesempatan sang kandidat untuk bisa menjadikan pertemuan maya menjadi pertemuan nyata.

Dengan mencermati aturan yang ada, tanpa melanggar ketentuan, bagaimana caranya SMS Broadcast dilakukan dengan pesan-pesan yang memikat calon pemilih. Atau dengan kata lain mulai melakukan soft campaign. Data no HP dari SMS Quis merupakan aset mahal bagi sang kandidat. Begitupun saat kampanye berlangsung, dibukanya kran untuk menyampaikan kritik, saran dan pendapat dari pemilih dan bagaimana sang kandidat bisa menanggapi secara simpatik merupakan bagian dari strategi kampanye yang perlu di cermati.

Bagi kandidat, penerapan ICT dalam masa pra kampanye dan saat kampanye, bahkan saat perhitungan suara (yang dilakukan oleh tim sukses dan loyalis) untuk menjaga akuntabilitas KPUD tentu merupakan point plus tersendiri. Dibukanya kran kritik, akan memberikan image terhadap kandidat bahwa dirinya siap dikritik dan siap mendengarkan. Sementara masukan/data masyarakat berupa kritik dan lainnya dapat dijadikan masukan untuk meningkatkan kualitas kampanye. Memang benar, penetrasi ponsel tidaklah besar dibandingkan jumlah pemilih, Namun efek domino terhadap lingkungan sekitar inilah yang diharapkan mampu mendongkrak popularitasnya dan pada akhirnya memilih dirinya.

Lagi-lagi ini adalah cara jitu menangkap basah “pasar” potensial dalam melakukan pemetaan. Sehingga bisa diketahui mana yang harus konsentrasi kampanyenya lebih besar, mana yang tidak.

Begitupun dengan pemanfaatan teknologi call centre. Dengan dibukanya akses telepon gratis/bebas pulsa pada waktu-waktu tertentu sehingga ada komunikasi langsung antara calon pemilih dan sang kandidat, menjadikan peluang untuk bisa mengetahui isu-isu apa yang paling penting di daerah satu dengan yang lain. Inipun bisa dijadikan peluru dalam menyampaikan pesan-pesan yang “membumi” saat kampanye berlangsung. Bukan pesan umum yang ada di awang-awang yang susah untuk dicernah oleh calon pemilih. Lagi-lagi ini peluang untuk mencari pasar potensial loyalis. Fungsi yang sama pun berlaku bagi situs.

KOMUNIKASI MASSA.

Memposisikan media sebagai sebuah kekuatan vital, sebagaimana tergambar dalam hypodermic theory. Dengan anggapan bahwasannya massa itu bodoh, pasif dan bisa dimanipulasi, iklan gencar-gencaran di pasang sebagaimana pamplet, spanduk dan baligo di pasang dimana-mana.

Tetapi apapun praktek komunikasi massa yang dilakukan, figure yang tampil tetap menjadi bahan perhatian yang tidak akan pernah terlupakan. Karena elemen komunikasi massa tidak hanya media penyampaian informasi dan khalayak saja, tetapi juga figure alias komunikator sebagai aktor utama. Hal terakhir inilah yang mesti dicek kembali kelayakannya untuk dijadikan pilihan oleh masyarakat banyak.

Disinilah kemudian faktor kredibilitas menjadi rujukan. Kredibilitas yang merujuk langsung kepada kapasitas tekhnis, moral dan kepintaran sang kandidat. Secara teoritik kredibilitas memang bisa di design sedemikian rupa. Apalagi di zaman dimana komputer sudah menjadi kehidupan keseharian masyarakat.

Memakai tekhnik photo mutakhir, gambar yang garang bisa dimanipulasi. Hitam bisa jadi putih, hijau jadi merah,muka garang bisa jadi muka manis, muka dingin bisa jadi sangat friendly. Pada pilpres kemarin Tim sukses Amien Rais berusaha mati-matian untuk menghilangkan kesan muka licik pak Amien. Dan itu sukses setelah beberapa kali photo Amien Rais di bolak-balik oleh sebuah biro photographi di Jakarta.

Simbol sebagai kekuatan media massa, komponennya ada dua. Pertama kuantitas symbol itu disosialisasikan kepada masyarakat. Semakin massif symbol itu disosialisasikan di tengah masyarakat, maka semakin tinggi tingkat kemungkinan symbol itu merasuk kealam bawah sadar masyarakat pemilih dan menjadi pegangan di bilik suara. Kedua tingkat kedekatan symbol itu di tengah masyarakat. Semakin symbol itu menjadi keseharian kehidupan masyarakat, maka symbol itu akan sangat mungkin untuk menang. Misalnya, pada pilkada D.K.I. Jakarta kalau Fauzi Bowo dengan ciri kumisnya dapat diingat oleh para pemilih di bilik suara. Warna orange yang dipakai Adang sudah menjadi keseharian kehidupan masyarakat Jakarta. Sudah tersosialisasikan begitu massif sebelum pelaksanaan pilkada itu sendiri. Indikatornya bisa dilihat dari pendukung Persija, yang sudah menjadi maskot warga ibukota, juga warna identitas pemda Ibu kota sendiri.

STRATEGI TWO STEP COMMUNICATION

Pada jurusan lain strategi two step communication pun dilaksanakan baik dengan cara manipulatif maupun proses negosiasi politik yang elegant. secara manipulatif masing-masing calon memanfaatkan posisinya sebagai pimpinan beberapa perkumpulan. Bahkan membuat komunitas bikin-bikinan dan menyatakan sebagai pendukungnya. Sehingga tidak aneh bila masa pilkada ini banyak organisasi yang tiba-tiba muncul dan menyatakan dukungan.

Secara elegan sejumlah prominent figure didekati dan diminta partisipasinya untuk mendukung masing-masing kandidat. Keuntungannya kesuksesan citra bahwasannya mendapat dukungan dari tokoh masyarakat juga bergeraknya komunitas dibawah bimbingan tokoh tersebut.

MEMAKAI JASA LEMBAGA STRATEGIC AND POLITICAL CONSULTING

Cara inilah mungkin yang paling mahal pada saat ini. Misalnya kita ambil dari pencitraan Soetrisno Bachir atau biasa disingkat S.B. dia memakai jasa lembaga strategic and political consulting profesional pertama di Indonesia yaitu Fox Indonesia .

Yang dimaksud professional disini dalam pengertian bisnis kampanye yang modern dan konsultan murni, penggarapannya mulai hulu hingga hilir. Mulai pencitraan, iklan, pemberitaan di media, kampanye, sampai strategi pemenangan suksesi.

Dalam pengerjaannya Fox Indonesia menggunakan sistem outsourching. Beberapa elemen dalam proses produksi diserahkan kepada profesional. Misalnya pemenangan pilkada diperlukan elemen survey. Untuk tugas itu, Fox Indonesia menyerahkan kepada LSI ( Lembaga Survei Indonesia ) milik Saiful Mudjani. Begitu juga dalam pembuatan iklan di televisi. Sampai-sampai melibatkan sutradara muda Ipang Wahid, urusan Fotografi dipercayakan pada fotografer kawakan Darwis Triadi. Bahkan sebentar lagi sutradara terkenal seperti Garin Nugroho akan bergabung dengan Fox Indonesia.

Puncak demokrasi adalah sebuah festival tempat berbagai komunitas masyarakat bisa bergabung dan menikmati kebebasan menuangkan kreasi, termasuk para seniman.

Untuk menunjang pekerjaan Fox Indonesia dibentuk beberapa divisi. Salah satunya yang paling krusial adalah divisi Think thank yang menggagas ide-ide dalam membangun citra tokoh dalam iklan. Termasuk pemilihan puisi Chairil Anwar dan ide memasang iklan di studio 21. Strateginya juga termasuk memasang iklan di Koran-koran utama, media luar ruang pemasangan baliho di seluruh Indonesia, dan roadshow ke berbagai daerah di Indonesia. Harga yang dipatok memang mahal, untuk iklan di televisi saja bisa mencapai 180 kali tayang dalam sehari dan ditayangkan di jam-jam utama atau prime time. Belum lagi iklan di radio dan TV lokal, maka dari itu diperlukan anggaran yang sangat besar untuk menggunakan jasa konsultan seperti Fox Indonesia.

KESIMPULAN.

Dari strategi diatas diharapkan selain efektif dan mengena, juga efisiensi biaya di perhitungkan. Selain itu waktu dan kesempatan juga diperhitungkan mengingat persaingan sesama kandidat semakin kompleks. Jika tim sukses telat mengambil langkah dan kalah dengan tim sukses calon kandidat lain jelas merugikan tim sukses ini. Selain ongkos biaya yang terbuang percuma, juga calon kandidat yang diperjuangkan akan menerima hujatan dari masyarakat yang membela kandidat lain, serta massa yang sebelumnya mendukung kandidat ini akan balik menghujat karena beralih mendukung kandidat lain. Dari strategi yang tertulis adalah suatu opsi yang harus juga diperhitungkan. Mengingat strategi tersebut juga tidak sedikit ongkos biaya yang dikeluarkan, dan mewajibkan tim sukses agar selalu berfikir efisien dan efektif dalam memperjuangkan kandidat.


kumpulan teori komunikasi populer

TEORI KOMUNIKASI MASSA TERHADAP INDIVIDU

Oleh : Fajar Junaedi S.Sos, M.Si

Teori-teori yang terangkum dalam bagian terdahulu menekankan pada hasil publik dan kebudayaan dari komunikasi massa. Perkembangan kajian teori komunikasi massa lainnya, yang akan dibahas dalam bagian ini menekankan pada pengaruh individual dari komunikasi massa. Pada bagian ini, kita membahas beberapa dari teori tradisi pengaruh-individu dalam studi mengenai komunikasi massa.

Teori Pengaruh Tradisi (The Effect Tradition)

Teori pengaruh komunikasi massa dalam perkembangannya telah mengalami perubahan yang kelihatan berliku-liku dalam abad ini. Dari awalnya, para peneliti percaya pada teori pengaruh komunikasi “peluru ajaib” (bullet theory) Individu-individu dipercaya sebagai dipengaruhi langsung dan secara besar oleh pesan media, karena media dianggap berkuasa dalam membentuk opini publik. Menurut model ini, jika Anda melihat iklan Close Up maka setelah menonton iklan Close Up maka Anda seharusnya mencoba Close Up saat menggosok gigi.

Kemudian pada tahun 50-an, ketika aliran hipotesis dua langkah (two step flow) menjadi populer, media pengaruh dianggap sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh yang minimal. Misalnya iklan Close Up dipercaya tidak akan secara langsung mempengaruhi banyak orang-orang untuk mencobanya. Kemudian dalam 1960-an, berkembang wacana baru yang mendukung minimalnya pengaruh media massa, yaitu bahwa pengaruh media massa juga ditengahi oleh variabel lain. Suatu kekuatan dari iklan Close Up secara komersil atau tidak untuk mampu mempengaruhi khalayak agar mengkonsumsinya, tergantung pada variabel lain. Sehingga pada saat itu pengaruh media dianggap terbatas (limited-effects model).

Sekarang setelah riset di tahun 1970-an dan 1980-an, banyak ilmuwan komunikasi sudah kembali ke powerful-effects model, di mana media dianggap memiliki pengaruh yang kuat, terutama media televisi.Ahli komunikasi massa yang sangat mendukung keberadaan teori mengenai pengaruh kuat yang ditimbulkan oleh media massa adalah Noelle-Neumann melalui pandangannya mengenai gelombang kebisuan.

Uses, Gratifications and Depedency

Salah satu dari teori komunikasi massa yang populer dan serimg diguankan sebagai kerangka teori dalam mengkaji realitas komunikasi massa adalah uses and gratifications. Pendekatan uses and gratifications menekankan riset komunikasi massa pada konsumen pesan atau komunikasi dan tidak begitu memperhatikan mengenai pesannya. Kajian yang dilakukan dalam ranah uses and gratifications mencoba untuk menjawab pertanyan : “Mengapa orang menggunakan media dan apa yang mereka gunakan untuk media?” (McQuail, 2002 : 388). Di sini sikap dasarnya diringkas sebagai berikut :

Studi pengaruh yang klasik pada mulanya mempunyai anggapan bahwa konsumen media, bukannya pesan media, sebagai titik awal kajian dalam komunikasi massa. Dalam kajian ini yang diteliti adalah perilaku komunikasi khalayak dalam relasinya dengan pengalaman langsungnya dengan media massa. Khalayak diasumsikan sebagai bagian dari khalayak yang aktif dalam memanfaatkan muatan media, bukannya secara pasif saat mengkonsumsi media massa(Rubin dalam Littlejohn, 1996 : 345).

Di sini khalayak diasumsikan sebagai aktif dan diarahkan oleh tujuan. Anggota khalayak dianggap memiliki tanggung jawab sendiri dalam mengadakan pemilihan terhadap media massa untuk mengetahui kebutuhannya, memenuhi kebutuhannya dan bagaimana cara memenuhinya. Media massa dianggap sebagai hanya sebagai salah satu cara memenuhi kebutuhan individu dan individu boleh memenuhi kebutuhan mereka melalui media massa atau dengan suatu cara lain. Riset yang dilakukan dengan pendekatan ini pertama kali dilakukan pada tahun 1940-an oleh Paul Lazarfeld yang meneliti alasan masyarakat terhadap acara radio berupa opera sabun dan kuis serta alasan mereka membaca berita di surat kabar (McQuail, 2002 : 387). Kebanyakan perempuan yang mendengarkan opera sabun di radio beralasan bahwa dengan mendengarkan opera sabun mereka dapat memperoleh gambaran ibu rumah tangga dan istri yang ideal atau dengan mendengarkan opera sabun mereka merasa dapat melepas segala emosi yang mereka miliki. Sedangkan para pembaca surat kabar beralasan bahwa dengan membeca surat kabar mereka selain mendapat informasi yang berguna, mereka juga mendapatkan rasa aman, saling berbagai informasi dan rutinitas keseharian (McQuail, 2002 : 387).

Riset yang lebih mutakhir dilakukan oleh Dennis McQuail dan kawan-kawan dan mereka menemukan empat tipologi motivasi khalayak yang terangkum dalam skema media – persons interactions sebagai berikut :

Diversion, yaitu melepaskan diri dari rutinitas dan masalah; sarana pelepasan emosi

Personal relationships, yaitu persahabatan; kegunaan sosial

Personal identity, yaitu referensi diri; eksplorasi realitas; penguatan nilai

Surveillance (bentuk-bentuk pencarian informasi) (McQuail, 2002 : 388).

Seperti yang telah kita diskusikan di atas, uses and gratifications merupakan suatu gagasan menarik, tetapi pendekatan ini tidak mampu melakukan eksplorasi terhadap berbagai hal secara lebih mendalam. Untuk itu mari sekarang kita mendiskusikan beberapa perluasan dari pendekatan yang dilakukan dengan teori uses and gratifications.

Teori Pengharapan Nilai (The Expectacy-Value Theory)

Phillip Palmgreen berusaha mengatasi kurangnya unsur kelekatan yang ada di dalam teori uses and gratification dengan menciptakan suatu teori yang disebutnya sebagai expectance-value theory (teori pengharapan nilai).

Dalam kerangka pemikiran teori ini, kepuasan yang Anda cari dari media ditentukan oleh sikap Anda terhadap media --kepercayaan Anda tentang apa yang suatu medium dapat berikan kepada Anda dan evaluasi Anda tentang bahan tersebut. Sebagai contoh, jika Anda percaya bahwa situated comedy (sitcoms), seperti Bajaj Bajuri menyediakan hiburan dan Anda senang dihibur, Anda akan mencari kepuasan terhadap kebutuhan hiburan Anda dengan menyaksikan sitcoms. Jika, pada sisi lain, Anda percaya bahwa sitcoms menyediakan suatu pandangan hidup yang tak realistis dan Anda tidak menyukai hal seperti ini Anda akan menghindari untuk melihatnya.

Teori Ketergantungan (Dependency Theory)

Teori ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.

Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang sama terhadap semua media. Lalu apa yang sebenarnya melandasi ketergantungan khalayak terhadap media massa ?

Ada dua jawaban mengenai hal ini. Pertama, khalayak akan menjadi lebih tergantung terhadap media yang telah memenuhi berbagai kebutuhan khalayak bersangkutan dibanding pada media yang menyediakan hanya beberapa kebutuhan saja. Jika misalnya, Anda mengikuti perkembangan persaingan antara Manchester United, Arsenal dan Chelsea secara serius, Anda mungkin akan menjadi tergantung pada tayangan langsung Liga Inggris di TV 7. Sedangkan orang lain yang lebih tertarik Liga Spanyol dan tidak tertarik akan Liga Inggris mungkin akan tidak mengetahui bahwa situs TV 7 berkaitan Liga Inggris telah di up date, atau tidak melihat pemberitaan Liga Inggris di Harian Kompas.

Sumber ketergantungan yang kedua adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan, melainkan kondisi sosial.

Untuk mengukur efek yang ditimbulkan media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.

Riset Eksperimen

Riset eksperimen (experimental research) merupakan pengujian terhadap efek media dibawah kondisi yang dikontrol secara hati-hati. Walaupun penelitian yang menggunakan riset eksperimen tidak mewakili angka statistik secara keseluruhan, namun setidaknya hal ini bisa diantisipasi dengan membagi obyek penelitian ke dalam dua tipe yang berada dalam kondisi yang berbeda.

Riset eksperimen yang paling berpengaruh dilakukan oleh Albert Bandura dan rekan-rekannya di Stanford University pada tahun 1965. Mereka meneliti efek kekerasan yang ditimbulkan oleh tayangan sebuah film pendek terhadap anak-anak. Mereka membagi anak-anak tersebut ke dalam tiga kelompok dan menyediakan boneka Bobo Doll, sebuah boneka yang terbuat dari plastik, di setiap ruangan. Kelompok pertama melihat tayangan yang berisi adegan kekerasan berulang-ulang, kelompok kedua hanya melihat sebentar dan kelompok ketiga tidak melihat sama sekali.

Ternyata setelah menonton, kelompok pertama cenderung lebih agresif dengan melakukan tindakan vandalisme terhadap boneka Bobo Doll dibandingkan dengan kelompok kedua dan ketiga. Hal ini membuktikan bahwa media massa memiliki peran membentuk karakter khalayaknya.

Kelemahan metode ini adalah berkaitan dengan generalisasi dari hasil penelitian, karena sampel yang diteliti sangat sedikit, sehingga sering muncul pertanyaan mengenai tingkat kemampuannya untuk diterapkan dalam kehidupan nyata (generalizability). Kelemahan ini kemudian sering diusahan untuk diminimalisir dengan pembuatan kondisi yang dibuat serupa mungkin dengan keadaan di dunia nyata atau yang biasa dikenal sebagai ecological validity Straubhaar dan Larose, 1997 :415).

Survey

Metode survey sangat populer dewasa ini, terutama kemanfaatannya untuk dimanfaatkan sebagai metode dasar dalam polling mengenai opini publik. Metode survey lebih memiliki kemampuan dalam generalisasi terhadap hasil riset daripada riset eksperimen karena sampelnya yang lebih representatif dari populasi yang lebih besar. Selain itu, survey dapat mengungkap lebih banyak faktor daripada manipulasi eksperimen, seperti larangan untuk menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dan faktor agama. Hal ini akan diperjelas dengan contoh berikut.

Seorang peneliti melakukan penelitian mengenai efek menonton tayangan kekerasan seksual terhadap remaja. Yang pertama dilakukannya adalah menentukan sampel, kemudian membuat variabel independen yang berupa terpaan media (seperti, “Berapa kali Anda menonton tayangan kekerasan seksual di televisi dalam minggu kemarin ?”). Kemudian ditanyakan efek media massa yang menjadi variabel dependen, seperti kekerasan seksual yang dilakukan responden. Keduanya kemudian dibuat skala pengukuran yang tepat (ordinal, nominal atau interval). Setelah itu, diukur dengan rumus statistik yang sesuai (Straubhaar dan Larose, 1997 :414).

Riset Ethnografi

Riset etnografi (ethnografic research) mencoba melihat efek media secara lebih alamiah dalam waktu dan tempat tertentu. Metode ini berasal dari antropologi yang melihat media massa dan khalayak secara menyeluruh (holistic), sehingga tentu saja relatif membutuhkan waktu yang lama dalam aplikasi penelitian. Dalam penelitian yang menggunakan metode ini, para peneliti menggunakan teknik observasi, pencatatan dokumen dan wawancara mendalam. Dalam melakukan wawancara mendalam, peneliti harus mampu mengeksplorasi beragam informasi dari responden, tanpa melalui pertanyaan yang sifatnya kaku sebagaimana penelitian survey (Straubhaar dan Larose, 1997 :417). Peneliti hanya memerlukan daftar pertanyaan sebagai acuan dalam wawancara yang dapat dikembangkan secara lentur ketika mengadakan wawancara, sehingga daftar pertanyaan dalam metode ini dinamakan sebagai petunjuk wawancara (interview guide).

Misalnya, peneliti yang melakukan penelitian mengenai efek kehadiran media televisi terhadap kebudayaan penduduk Samin, sebuah sub suku Jawa yang hidup di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur yang selama ini terkenal dengan ketertutupannya dengan dunia luar. Yang dilakukan peneliti adalah mengamati secara seksama bagaimana masyarakat Samin mengkonsumsi televisi. Ikut bersama mereka menonton televisi, untuk mengamati apa saja yang mereka lakukan dan komentari pada saat menonton televisi, kemudian setelah itu mewawancarai mereka secara mendalam mengenai apa yang telah mereka tonton. Setalah itu semuanya dicatat secara lengkap, sehingga hasil dari penelitian ini kemudian akan sangat kaya informasi yang mendalam.

TAYANGAN REALITY SHOW TERMEHEK-MEHEK DIKAJI DENGAN TEORI AGENDA SETTING DAN TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL

Reality show saat ini sedang menjamur. Tapi di antara semua tayangan reality show, Termehek-mehek adalah salah satu program yang dianggap paling disukai oleh pemirsa. Jam tayangnya yang prime time yaitu 18.15-19.00 WIB hingga back song-nya yang menarik, membuat acara ini makin diminati.

Pertama kali nonton Termehek-mehek, pastinya terseret arus cerita yang seringkali mengaduk-aduk perasaan di tengah-tengah acara pencarian orang yang dikasihi. Kita diajak untuk ikut menanti ending cerita, happy or sad ending?. Jadi berat rasanya mata untuk dialihkan ke hal lain selain menonton monitor TV sampai acara selesai.

Mayoritas dari kita yakin dan percaya bahwa acara tersebut adalah nyata dan benar terjadi. Dan masih banyak jutaan pemirsa TV lainnya juga yang ikut menangis dan bahagia sesuai dengan jalan cerita Termehek-mehek. padahal acara Termehek-mehek dan mayoritas reality show lainnya itu adalah rekayasa, bukan murni nyata kejadiannya.

LATAR BELAKANG

Dalam bahasa Jawa, ada istilah ‘nggak mehek’ yang artinya kurang lebih meremehkan atau menganggap kecil sesuatu. Namun Termehek-mehek yang sekarang lagi booming, mempunyai arti menangis tersedu-sedu. Acara ini muncul sekitar Mei 2008 dan langsung menarik perhatian mayoritas pemirsa TV. Ide acara adalah membantu mencari seseorang yang lama hilang. Jalinan ceritanya begitu mempesona karena dibuat seakan-akan nyata dan terjadi dengan sebenarnya.

Helmi Yahya sebagai yang punya ide cerita mengakui bahwa ia memanfaatkan karakter orang Indonesia yang suka diberi mimpi.

Para pemeran di tiap episode sengaja diambil dari masyarakat umum terutama mahasiswa agar terkesan alami karena wajahnya belum pernah muncul di TV sebelumnya. Ada satu kasus ketika seorang mahasiswa langsung ditelepon oleh banyak teman-temannya setelah shooting reality show.

mahasiswa langsung menjelaskan pada teman-temannya itu bahwa cerita yang diangkat bukanlah kisah pribadinya, tapi rekayasa berdasarkan skenario belaka. Malulah kalau sampai beneran kisah pribadinya jadi konsumsi banyak orang se-Indonesia, begitu katanya.

Sebagian dari audien bisa jadi nggak terima dengan kenyataan ini. Bukankah jelas-jelas sang target pernah mengusir kameramen acara termasuk host-nya yaitu Panda dan Mandala?, terus rekayasa dengan cara acara usir-usiran segala? Bahkan Panda dalam acara tersebut nangis juga bila kebetulan ending cerita mengharukan atau sedih. Mungkin audiens akan berpikir naif seperti itu.

Memang audiens tidak salah. Namanya juga akting, pastilah harus meyakinkan. Bahkan Panda dan Mandala dibayar bukan cuma untuk menjadi host, tapi plus acting juga. Bagi mereka yang bekerja di dunia pertelevisian, sedari awal langsung mengerti bahwa acara-acara reality show seperti ini penuh dengan rekayasa.

Namanya juga show atau pertunjukkan yang sudah jelas ada unsur menghiburnya , Hal ini tidak bisa dihindari karena tuntutan deadline. Ketika tidak ada satu kisah nyata yang bisa diangkat ke layar TV, maka solusinya adalah bikin skenario dan membayar pemain amatiran agar terkesan alami. Nah, awalnya saya pikir sebagian, tapi ternyata most of them alias hampir semua episode adalah rekayasa!

Cara gampang untuk mengenali bahwa ini adalah rekayasa yaitu perhatikan saja kualitas suara yang jernih ketika terjadi percakapan antara host, client dan target. Kalau memang si target benar-benar tidak tahu sebagaimana ekspresi mukanya yang seringkali berakting bingung ketika didatangi host, maka seharusnya kualitas suara mereka tidak sejernih yang kita dengar di TV. Kejernihan suara itu karena memang adanya chip untuk mikrofon yang biasanya dipasang di baju.

Kalau audiens jeli, ada wajah tokoh pada acara termehek-mehek yang juga sedang bermain sinetron meskipun hanya sebagai tokoh figuran. Lagipula, bila acara ini menyajikan kejadian sebenarnya, apa ada orang yang rela aibnya ditampilkan sedemikian rupa di TV?. Dan jawabnya mungkin sudah mendapat persetujuan dari semua pihak. Namanya juga dramatisasi , pastilah acara ini dihadirkan agar seolah-olah semuanya terlihat real.

KAJIAN TEORI

  1. TEORI AGENDA SETTING

a. Teori Agenda Setting dimulai dengan suatu asumsi bahwa media massa menyaring berita, artikel, atau tulisan yang akan disiarkannya.

Secara selektif, “gatekeepers” seperti penyunting, redaksi, bahkan wartawan sendiri menentukan mana yang pantas diberitakan dan mana yang harus disembunyikan. Setiap kejadian atau isu diberi bobot tertentu dengan panjang penyajian (ruang dalam surat kabar, waktu pada televisi dan radio) dan cara penonjolan (ukuran judul, letak pada suratkabar, frekuensi penayangan, posisi dalam suratkabar, posisi dalam jam tayang).

b. KESIMPULANNYA

Kondisi ini memang memanfaatkan psikologi orang Indonesia yang cenderung pasif dan konsumtif. Mereka mudah ‘dicekoki’ apa saja terutama yang bertujuan pembodohan secara massal. Hal ini pula yang terjadi pada berbagai macam program TV di Indonesia.

Mungkin awalnya kita tidak paham tentang realitas reality show. maka kita gampang sekali tertipu dan ngefans dengan sebuah program tayangan tertentu. Sampai-sampai kita menunda keperluan lain agar tidak mau ketinggalan acara tersebut. Perhatikan saja Termehek-mehek ini tayang di waktu Maghrib yang singkat serta ditayangkan Sabtu sore dan Minggu sore yang biasanya banyak kegiatan di sekitar rumah karena anak-anak sekolah dan kuliah sudah tidak ada kegiatan.

TEORI PEMBELAJARAN SOSIAL

a. merupakan perluasan dari teori belajar perilaku yang tradisional (behavioristik). Teori pembelajaran sosial ini dikembangkan oleh Albert Bandura (1986). Teori ini menerima sebagian besar dari prinsip-prinsip teori-teori belajar perilaku, tetapi memberi lebih banyak penekanan pada efek-efek dari isyarat-isyarat pada perilaku, dan pada proses-proses mental internal. Jadi dalam teori pembelajaran sosial kita akan menggunakan penjelasan-penjelasan reinforcement eksternal dan penjelasan-penjelasan kognitif internal untuk memahami bagaimana kita belajar dari orang lain. Dalam pandangan belajar sosial “manusia” itu tidak didorong oleh kekuatan-kekuatan dari dalam dan juga tidak “dipukul” oleh stimulus-stimulus lingkungan.

b. Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang tidak random; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana yang dikutip oleh (Kardi, S., 1997 : 14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.

c. Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning). Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Misalnya seorang siswa melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya karena perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement. Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model (Nur, M. 1998a : 4).

d. KESIMPULAN

Apabila audiens sudah terbius oleh acara reality show termehek-mehek, dapat dipastikan secara tidak sadar audiens sudah terpengaruh dan termotivasi acara reality show termehek-mehek. Dikarenakan acara tersebut sudah menjadi referensi memori audiens dalam bertingkah laku. Dan cenderung melakukan suatu perbuatan yang intinya sama dengan yang audiens tonton. Seperti tindakan pembelaan diri yang notabenenya mengarah ke tindakan kekerasan baik fisik dan nonfisik. Atau bahkan meniru sang host-nya yang seolah-olah menjadi penengah dalam suatu masalah, serta dramatisasi kehidupan yang membuat audiens menjadi cengeng dan melankolis apabila menghadapi suatu masalah yang mengandung unsur kesedihan.